Oleh: Saparina
Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam, Fakultas Teknik dan Sains Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
BANGKA BELITUNG, BANGKA TIMES – Mangrove memiliki peran penting dalam ekosistem pesisir, baik sebagai penopang keanekaragaman hayati maupun pelindung alami terhadap abrasi dan badai. Di Desa Kurau, Bangka Tengah, mangrove tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber daya alam, tetapi juga dihargai sebagai bioindikator lingkungan. Bioindikator adalah organisme atau komponen ekosistem yang memberikan informasi tentang kondisi lingkungan. Dalam konteks Desa Kurau, mangrove digunakan untuk memantau kualitas lingkungan pesisir sekaligus sebagai bagian dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Mangrove sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti peningkatan polusi, sedimentasi, dan perubahan kadar salinitas air. Karena itu, keberadaan dan kesehatan mangrove menjadi penanda penting bagi masyarakat Desa Kurau dalam memahami kondisi lingkungan mereka. Misalnya, jika hutan mangrove mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti deforestasi, penurunan produktivitas, atau matinya pohon-pohon tertentu, hal ini sering kali menjadi sinyal bahwa terjadi perubahan kualitas lingkungan yang memerlukan perhatian.
Mangrove juga menjadi habitat bagi berbagai jenis fauna seperti ikan, kepiting, dan burung. Kehadiran atau hilangnya spesies tertentu dari ekosistem mangrove dapat memberi informasi tambahan tentang kualitas lingkungan, seperti adanya pencemaran air atau kerusakan ekosistem. Hal ini membuat mangrove tidak hanya berfungsi sebagai pelindung alami pantai, tetapi juga sebagai sistem deteksi dini bagi masyarakat setempat.
Kearifan lokal masyarakat Desa Kurau telah lama menjadikan mangrove sebagai bagian dari kehidupan mereka. Salah satu bentuk kearifan lokal yang menonjol adalah tradisi menjaga mangrove sebagai sumber daya alam yang berkelanjutan. Masyarakat memanfaatkan mangrove untuk berbagai keperluan, seperti bahan bakar, makanan, dan obat-obatan tradisional, tetapi dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan.
Di Desa Kurau, tradisi menanam kembali mangrove setelah memanfaatkan hasilnya adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang masih dipraktikkan hingga kini. Selain itu, masyarakat Desa Kurau juga memiliki aturan tidak tertulis untuk menjaga kawasan mangrove tertentu dari eksploitasi berlebihan. Aturan ini memastikan bahwa mangrove tetap terjaga sebagai habitat alami sekaligus bioindikator lingkungan.
Salah satu bentuk nyata dari pemanfaatan mangrove di Desa Kurau adalah pengembangan Ekowisata Mangrove Munjang. Ekowisata ini menjadi simbol keberhasilan masyarakat Desa Kurau dalam mengintegrasikan kearifan lokal dengan upaya pelestarian lingkungan dan pengembangan ekonomi lokal.
Ekowisata Mangrove Munjang memberikan manfaat ganda bagi masyarakat. Di satu sisi, ekowisata ini membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengunjung tentang pentingnya mangrove bagi lingkungan. Di sisi lain, ekowisata ini juga menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat setempat. Pengunjung yang datang tidak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga mendapatkan edukasi tentang fungsi mangrove sebagai pelindung pantai, penyaring alami air, dan habitat bagi berbagai spesies.
Melalui ekowisata ini, masyarakat Desa Kurau juga memperkenalkan tradisi lokal dalam menjaga mangrove kepada pengunjung. Ini merupakan cara efektif untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal sekaligus meningkatkan apresiasi terhadap pentingnya pelestarian lingkungan.
Selain kearifan lokal, Desa Kurau juga mengadopsi teknologi modern dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama melalui program Smart Fisheries Village (SFV). Program ini mengintegrasikan teknologi untuk memantau kualitas air dan kesehatan ekosistem perikanan. Kombinasi antara tradisi dan teknologi modern ini menjadikan Desa Kurau sebagai contoh bagaimana masyarakat lokal dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Misalnya, teknologi dalam SFV memungkinkan masyarakat memantau kualitas air secara real-time. Data ini digunakan untuk memastikan bahwa kondisi lingkungan tetap optimal bagi pertumbuhan mangrove dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Inovasi ini memperkuat peran mangrove sebagai bioindikator lingkungan, karena data yang dihasilkan dapat memberikan informasi lebih akurat tentang kondisi ekosistem pesisir.
Meskipun masyarakat Desa Kurau telah berhasil menjaga mangrove mereka, tantangan tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah tekanan dari aktivitas manusia, seperti konversi lahan untuk tambak atau pembangunan infrastruktur. Jika tidak dikelola dengan baik, aktivitas ini dapat merusak ekosistem mangrove dan mengurangi fungsinya sebagai bioindikator lingkungan.
Namun, peluang untuk pelestarian mangrove di Desa Kurau juga sangat besar. Dengan meningkatnya kesadaran global tentang pentingnya mangrove dalam mitigasi perubahan iklim, Desa Kurau memiliki potensi untuk menjadi model pelestarian mangrove yang berkelanjutan. Dukungan dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah dapat membantu masyarakat setempat memperkuat upaya mereka dalam menjaga mangrove.
Mangrove di Desa Kurau adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat berpadu dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Sebagai bioindikator, mangrove memberikan informasi penting tentang kondisi lingkungan pesisir sekaligus mendukung kehidupan masyarakat lokal. Tradisi menjaga mangrove yang diwariskan turun-temurun menunjukkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Dengan adanya program seperti Ekowisata Mangrove Munjang dan Smart Fisheries Village, Desa Kurau berhasil mengintegrasikan kearifan lokal dan teknologi modern untuk menjaga kelestarian lingkungan. Ini tidak hanya memberikan manfaat ekologis, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan Desa Kurau dalam menjaga mangrove dan memanfaatkan kearifan lokal sebagai bioindikator lingkungan dapat menjadi inspirasi bagi wilayah lain di Indonesia. Jika terus dikelola dengan baik, Desa Kurau dapat menjadi simbol keberhasilan pelestarian lingkungan yang berbasis komunitas, sekaligus memberikan kontribusi nyata dalam mitigasi perubahan iklim global.
Dan dengan adanya semangat masyarakat dalam memanfaatkan kearifan lokal sebagai Bioindikator lingkungan, menjadikan daya tarik tersendiri sehingga pemerintah ikut tertarik dalam peran mengalokasikan dana bantuan untuk mengembangkan ekowisata mangrove agar lebih berkembang secara signifikan.
Undang-undang yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk mangrove, adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Undang-undang ini membolehkan penebangan mangrove di kawasan yang sudah dialokasikan untuk budidaya perikanan, tetapi melarang konversi ekosistem mangrove di zona budidaya. (red/**)